Sabtu, 15 September 2012

Sejarah dr. Kariadi


    Kariadi lahir di Kota Malang, pada 15 September 1905. Pendidikannya dimulai di Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Malang dan ditamatkan di HIS Sidoardjo, Surabaya, lulus pada 1920. Pada 1921, ia berhasil memasuki Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) atau Sekolah Kedokteran untuk Pribumi di Surabaya dan lulus pada 1931. Begitu lulus, dr. Kariadi bekerja sebagai asisten tokoh pergerakan, dr. Soetomo, di Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ) di Surabaya. Setelah berdinas tiga tahun, dr. Kariadi ditugaskan ke Manokwari, Tanah Papua.


    Dokter Kariadi menikah dengan drg. Soenarti, lulusan STOVIT (Sekolah Kedokteran Gigi) di Surabaya. Soenarti lulus sebagai dokter gigi pribumi pertama di Hindia Belanda. Setelah bertugas selama tiga tahun di Manokwari, dr. Kariadi kemudian dipindahkan ke Kroya (Banyumas). Baru dua tahun bertugas di sini, dr. Kariadi ditugaskan lagi ke luar Jawa, yaitu ke Martapura dan selesai bertugas 15 Mei 1942. Setelah itu, tepatnya 1 Juli 1942, dr. Kariadi ditugaskan sebagai Kepala Laboratorium Malaria di RS Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purusara) di Semarang.


Perang kemerdekaan terjadi tidak lama setelah proklamasi dikumandangkan, termasuk di Semarang. Para pemuda terus berusaha merebut persenjataan milik tentara Jepang. Pada 13 Oktober 1945 suasana di Semarang sangat mencekam. Tanggal 14 Oktober, Mayor Kido menolak penyerahan senjata sama sekali. Para pemuda pun marah dan rakyat mulai bergerak sendiri-sendiri. Aula Rumah Sakit Purusara dijadikan markas perjuangan. Para pemuda rumah sakit pun tidak tinggal diam dan ikut aktif dalam upaya menghadapi Jepang.

Pada Minggu, 14 Oktober 1945, pukul 6.30 WIB, pemuda-pemuda rumah sakit mendapat instruksi untuk mencegat dan memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan RS Purusara. Mereka menyita sedan milik Kempetai dan merampas senjata mereka. Sore harinya, para pemuda ikut aktif mencari tentara Jepang dan kemudian menjebloskannya ke Penjara Bulu. Sekitar pukul 18.00 WIB, pasukan Jepang bersenjata lengkap melancarkan serangan mendadak sekaligus melucuti delapan anggota polisi istimewa yang waktu itu sedang menjaga sumber air minum bagi warga Kota Semarang Reservoir Siranda di Candilama. Kedelapan anggota Polisi Istimewa itu disiksa dan dibawa ke markas Kidobutai di Jatingaleh. Sore itu tersiar kabar tentara Jepang menebarkan racun ke dalam reservoir itu. Rakyat pun menjadi gelisah.


    Selepas Magrib, ada telefon dari pimpinan Rumah Sakit Purusara, yang memberitahukan agar dr. Kariadi segera memeriksa Reservoir Siranda karena berita Jepang menebarkan racun itu. Dokter Kariadi, yang bertugas sebagai Kepala Laboratorium Rumah Sakit Purusara pun dengan cepat memutuskan harus segera pergi ke sana. Suasana sangat berbahaya karena tentara Jepang telah melakukan serangan di beberapa tempat termasuk di jalan menuju ke Reservoir Siranda. Isteri dr. Kariadi, drg. Soenarti mencoba mencegah suaminya pergi mengingat keadaan yang sangat genting itu. Namun dr. Kariadi berpendapat lain, ia harus menyelidiki kebenaran desas-desus itu karena menyangkut nyawa ribuan warga Semarang. Akhirnya drg. Soenarti tidak bisa berbuat apa-apa.

    Tengah malam telefon berdering di rumah dr. Kariadi. Soenarti mengangkat telefon itu, ternyata dari Rumah Sakit Purusara: dr. Kariadi ditembak tentara Jepang dan tidak tertolong lagi nyawanya. Soenarti pun menangis. Hingga keesokan harinya, keluarga dr. Kariadi kebingungan karena tidak bisa datang ke rumah sakit, di mana jasad dr. Kariadi terbaring penuh luka karena suara tembakan terus terdengar di luar rumah.

    Ternyata dalam perjalanan menuju Reservoir Siranda itu, mobil yang ditumpangi dr. Kariadi dicegat tentara Jepang di Jalan Pandanaran. Bersama tentara pelajar yang menyopiri mobil yang ditumpanginya, dr. Kariadi ditembak secara keji. Ia sempat dibawa ke rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB. Ketika tiba di kamar bedah, keadaan dr. Kariadi sudah sangat gawat. Nyawa dokter muda itu tidak dapat diselamatkan. Ia gugur dalam usia 40 tahun satu bulan.

     Sekitar pukul 3.oo WIB, 15 Oktober 1945, Mayor Kido memerintahkan sekitar 1.000 tentaranya untuk melakukan penyerangan ke pusat Kota Semarang. Sementara itu, berita gugurnya dr. Kariadi yang dengan cepat tersebar, menyulut kemarahan warga Semarang. Hari berikutnya, pertempuran meluas ke berbagai penjuru kota. Korban berjatuhan di mana-mana. Pada 17 Oktober 1945, tentara Jepang minta gencatan senjata, namun diam-diam mereka melakukan serangan ke berbagai kampung.

     Sementara itu, karena kesibukan yang luar biasa dan situasi yang sangat gawat, jenazah dr. Kariadi belum dapat dimakamkan. Barulah pada 17 Oktober 1945, jenazah dimakamkan di halaman rumah sakit. Pemakaman berlangsung khidmat dengan naungan bendera Merah Putih meskipun sering terganggu dengan tembakan musuh. Anak-anak dr. Kariadi hadir di pemakaman, sedangkan istrinya merasa tidak mampu menyaksikan.

    Pada 19 Oktober 1945, pertempuran terus terjadi di berbagai penjuru Kota Semarang. Pertempuran ini berlangsung lima hari dan memakan korban 2.000 orang Indonesia dan 850 orang Jepang. Di antara yang gugur, termasuk dr. Kariadi dan delapan karyawan RS Purusara.

     Pada 5 November 1961, kerangka dr. Kariadi dipindahkan dari halaman RS Purusara ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang. Menurut putrinya, Prof. Dr. Sri Hartini K.S. Kariadi, dr., Sp.PD-KEMD, ketika kerangka ayahandanya dipindahkan itu, ia sempat ikut memeriksa tulang-belulang ayahandanya. Sebagai mahasiswa kedokteran (waktu itu) ia melihat di tengkorak terdapat retakan membentuk celah, yang menunjukkan bekas pukulan benda tajam (mungkin dipukul dengan sangkur, sebelum ditembak).

    Sebagai penghargaan atas jasa-jasa dr. Kariadi, pada 1964, RSUP Purusara (yang sejak 1949 menjadi RSUP Semarang), diganti namanya menjadi "Rumah Sakit Dokter Kariadi", dan pada Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1968, dr. Kariadi dianugerahi Satyalencana Kebaktian Sosial oleh Presiden Soeharto, secara Anumerta. Sebenarnya dr. Kariadi juga telah menghasilkan karya besar di bidang pemberantasan penyakit malaria melalui dan menemukan minyak "Oleum Pro-microscopieKar" yang sangat penting dalam menangani penyakit malaria dan filariasis yang berjangkit di berbagai daerah di Indonesia.


by : SetiyADI (milis leokristi)
foto : google image

Biji Alpukat prospek energi alternatif masa depan


Salatiga, undip.ac.id- biji alpukat yang dianggap limbah oleh sebagian besar masyarakat indonesia ternyata ditangan mahasiswa D3 TEKNIK KIMIA UNDIP Esthu Nurhikmayati, Tyas Surya dan Hana Tris  mampu memberikan solusi kelangkaan energi yang sekarang dirasakan oleh masyarakat indonesia, hal ini dibuktikan dengan konversi dari biji alpukat menjadi biodisel dengan proses transesterifikasi. Yang beberapa waktu lalu menjadi juara 3 dalam lomba karya tulis inovatif mahasiswa (LKTIM) yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Jawa Tengah.

Esthu Nurhikmayati mengungkapkan bahwa biji alpukat jarang digungakan dimasyarakat ternyata memiliki kandugan trigliserida yang merupakan komponen utama dari biodisel. Kandungan trigliserida yang ada di biji alpukat lebih banyak dibandingkan biji jarak.

“Pembuatan biodisel dari biji alpukat ini menggunakan proses transesterifikasi, proses ini dilakukan dengan cara penambahan basa kuat seperti NaOH kedalam minyak mentah dari biji alpukat.” ujarnya

“pada masyarakat luas alpukat hanya dimanfaatkan daging buahya saja, padahal bijinya memiliki nilai ekonomis yang lebih dibandingkan dengan biji jarak. Dengan pemanfaatan ini secara tidak langsung mengurangi limbah dari biji alpukat” ujarnya

“Harapan yang kami inginkan dengan adanya gagasan ini membuat masyarakat memiliki pilihan baru dari bahan bakar yang selama ini kita pakai yang berasal dari fosil dapat menggunakan bahan bakar yang berasal dari alam yang dapat terbarukan” katanya.

 

Sabtu, 08 September 2012

SEMAR

Kyai Lurah Semar Badranaya adalah nama tokoh panakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut yang berbahasa Sanskerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa.

Sejarah Semar

Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439.
Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melaikan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.

Asal-Usul dan Kelahiran

Lukisan Semar gaya Surakarta.
Terdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal-usul Semar. Namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai penjelmaan dewa.
Dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yang bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.
Dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.
Dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.
Dalam naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.

Silsilah dan Keluarga

Dalam pewayangan dikisahkan, Batara Ismaya sewaktu masih di kahyangan sempat dijodohkan dengan sepupunya yang bernama Dewi Senggani. Dari perkawinan itu lahir sepuluh orang anak, yaitu:
  • Batara Wungkuham
  • Batara Surya
  • Batara Candra
  • Batara Tamburu
  • Batara Siwah
  • Batara Kuwera
  • Batara Yamadipati
  • Batara Kamajaya
  • Batara Mahyanti
  • Batari Darmanastiti
Semar sebagai penjelmaan Ismaya mengabdi untuk pertama kali kepada Resi Manumanasa, leluhur para Pandawa. Pada suatu hari Semar diserang dua ekor harimau berwarna merah dan putih. Manumanasa memanah keduanya sehingga berubah ke wujud asli, yaitu sepasang bidadari bernama Kanistri dan Kaniraras. Berkat pertolongan Manumanasa, kedua bidadari tersebut telah terbebas dari kutukan yang mereka jalani. Kanistri kemudian menjadi istri Semar, dan biasa dipanggil dengan sebutan Kanastren. Sementara itu, Kaniraras menjadi istri Manumanasa, dan namanya diganti menjadi Retnawati, karena kakak perempuan Manumanasa juga bernama Kaniraras.

Pasangan Panakawan / Punokawan

Dalam pewayangan Jawa Tengah, Semar selalu disertai oleh anak-anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun sesungguhnya ketiganya bukan anak kandung Semar. Gareng adalah putra seorang pendeta yang mengalami kutukan dan terbebas oleh Semar. Petruk adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa.
Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot, Dawala, dan Gareng. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya didampingi satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak bernama Besut.

Bentuk Fisik

Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya.
Semar selalu tersenyum, tapi bermata sembab. Penggambaran ini sebagai simbol suka dan duka. Wajahnya tua tapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol tua dan muda. Ia berkelamin laki-laki, tapi memiliki payudara seperti perempuan, sebagai simbol pria dan wanita. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan.

Keistimewaan Semar

Keris pengantin dengan pegangan Semar
Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Jika dalam perang Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa hanya Kresna seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah Semar.
Semar dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi Manumanasa, terutama para Pandawa yang merupakan tokoh utama kisah Mahabharata. Namun dalam pementasan wayang yang bertemakan Ramayana, para dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga Sri Rama ataupun Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan.
Dalam pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria, sedangkan Togog sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah - yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar - mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya pasti menjadi nagara yang unggul dan sentosa.